Monday 20 February 2012

Menembus Kabut, Menggapai Atap Jawa

Membaca buku-buku karya Jon Krakauer yang mengisahkan tentang petualangan-petualangannya maupun kisah tokoh-tokoh pendakian lain, terutama seperti Reinhold Massner, seorang pendaki gunung terhebat didunia asal Italia, yang menaklukkan Everest sendirian tanpa bantuan oksigen tambahan, aku merasa terinspirasi oleh kisah-kisah para pendaki elit dunia tersebut dan ingin sekali melakukan seperti yang mereka lakukan.
Ada kata-kata dalam tulisan Jon Krakeuer yang sangat menarik perhatianku, “ Mencapai puncak gunung manapun dianggap kurang penting dibanding dengan cara seseorang mencapainnya, seorang pendaki akan merasa bangga jika dia berhasil mencapai puncak melewati rute yang paling sulit, dengan perlengkapan minimal. Tidak ada pendaki yang lebih dikagumi selain para pendaki solo, yaitu para pemimpin yang mendaki sendirian” ( Into Thin Air ).
Mahameru atau lebih dikenal dengan Semeru, 3.676 mdpl, merupakan gunung tertinggi di pulau jawa sekaligus gunung Vulkanik tertinggi ketiga di Indonesia. Meskipun ini dianggap gagasan gila tapi ini adalah Obsesiku. Akupun mulai melakukan persiapan-persiapan untuk melakukan niatku. Diantaranya melakukan latihan fisik dengan berat berat melampaui batas-batasanku, karena sadar bahwa dalam pendakian solo aku hanya bisa mengandalkan diriku sendiri.


Sekitar 3 bulan melakukan persiapan fisik dan mental, aku memutuskan berangkat awal bulan juli karena waktu itu adalah musim liburan sekolah. Diawali perjalanan yang panjang naik kereta ekonomi senja utama dilanjut naik bus antar kota menuju Malang, setelah turun bus langsung ditawari kenek angkot ( lin ) Semuru mas, akupun mengiyakan ; perjalanan selama satu jam sampailah dikota Tumpang. Di kota ini disambut oleh pak Yono seorang penjual bensin yang mengkoordinir kendaraan anak-anak yang akan naik ke Ranupane. Waktu itu jam menunjukkan 14.45 wib, atas sarannya disuruh menunggu pendaki lain sebab mobil yang dinaiki harus terisi 16 orang padahal waktu itu saya sendirian. Sampai sore belum juga muncul pendaki lain maka aku dipersilahkan istirahat di pondoknya  menunggu besok pagi mungkin ada truk sayur.
  
Tepat jam 20.15wib saat nonton TV, pak Yono mencariku untuk dititipkan mobil Jeep yang akan menjemput pendaki yang akan turun. Akhirnya jadi berangkat malam itu tapi tidak langsung menuju Ranupane, melainkan menginap dulu dirumah pak sopir, baru paginya berangkat menuju Ranupane.  Langsung di tempat perijinan saat itu bersamaan dengan rombongan turis Prancis yang juga akan naik Semeru. Saat mengurus perijinan, sempat terjadi negoisasi yang alot sebab petugas TNBTS tidak mau mengambil resiko sekecil apapun, karena bersamaan dengan rombongan maka diijinkan untuk bersama.
Menuju Ranu Kumbolo 

 

Selama lebih dari 30 menit menunggu dan mempersiapkan perbekalan juga makan siang diwarung. Tepat 13.25 wib aku meninggalkan pos Ranupane, dengan keyakinan “Tuhan bersama dengan orang-orang Pemberani” Dalam buku Everest In Your Life karya Gary Scoff  kuputuskan berangkat sendirian. Setelah melewati gapuro “selamat mendaki“ aku mulai memasuki areal hutan.
Jalan setapak semula tampak bersih dari belukar. Semakin jauh, semak belukar tumbuh dengan lebatnya hingga menutupi jalan setapak. Apalagi sejak bulan terakhir pihak TNBTS menutup daerah ini, praktis jarang bahkan mungkin tidak ada orang yang melewatinya. Berjalan sambil menyibak semak basah yang kadang berduri, juga tidak jarang harus merangkak dibawah batang pohon tumbang yang melintang di jalan. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya lereng-lereng bukit yang telah longsor.
Hari semakin sore, hawa dingin makin terasa memaksa aku kembali memakai jaket anti air. Setelah tiga jam tersiksa oleh beratnya rintangan , akhirnya kutemukan titik terang jauh dibawah sana tampak sebuah danau yang dikelilingi oleh savana yang luas. Jalan setapak yang menurun dengan curam dan kodisinya berdebu membuatku harus hati-hati agar tidak tergelincir.
   
Pukul 17.50 wib aku sampai di pos Ranu Kumbolo ( 2.400 mdpl ). Disana sudah ada tiga tenda dum, dua dari STM Budi Utomo Jakarta yang akan turun, sedang  yang satu dari Kendal  Jawa Tengah rombongan karang taruna yang akan naik besok pagi. Juga dari tampak kejauhan ada api unggun dengan sebuah gubuk kecil sederhana yang terbuat dari ranting pohon yang ditutup dengan daun ilalang. Mereka adalah penduduk kampung Ranupane yang sedang memancing. Aku bersyukur tidak harus sendiri malam ini, meskipun ada keinginan untuk bener-bener sendiri memiliki gunung ini.
Mencapai Arcopodo
Pagi yang lumayan cerah menggantikan malam yang kulewati dengan sedikit tidur, karena memikirkan rencana hari ini. Pagi ini anak-anak STM Jakarta pada main bola ditepian Ranu sedangkan anak Kendal pada masak belum kelihatan persiapan mau naik. Sekitar jam delapan aku putuskan berangkat sendiri padahal disarankan untuk berangkat bersama dengan anak kendal. Kumulai dengan Do’a kemudian kulangkahkan kaki ini untuk melanjutkan perjalanan yang langsung dihadang sebuah tanjakan curam yang dikenal dengan nama Tanjakan Cinta.
 
Sesampai dipuncak tanjakan, lintasan kembali menurun, dengan pemandangan savana yang terhampar yang disebut “Oro-oro Ombo” ada dua lintasan yang dapat dilewati yaitu dengan lurus melalui turunan curam kemudian melandai dengan menerobos ilalang setinggi dada. Aku memilih jalur kekiri yang menyisir lereng bukit, meskipun tampak lebih jauh tetapi bebas dari hambatan.
Setelah melewati padang ilalang, aku mulai memasuki kawasan hutan Cemoro Kandang yaitu hutan pinus dilereng Gunung Kepolo (3.095 mdpl) dengan lintasan yang agak menanjak. Belukar lebat dan berduri juga merintangi perjalanan.
  
Pukul 09.30 wib aku sampai di Blok jambangan, areal yang agak terbuka  yang didominasi tumbuhan-tumbuhan  sub-Alpin. Baru sekitar 20 menit kemudian, akhirnya sampai di pos Kalimati ( 2.710 mdpl ). Tebalnya kabut rasanya menyambut kedatanganku tak berlangsung lama istirahat di pos cuaca berubah cerah sehingga puncak kelihatan didepan mata, menambah semangatku untuk melanjutkan perjalanan. Meskipun relatif lebih aman jika berkemah di sini, mengingat hari masih siang dan betapa jauh dan beratnya perjalanan ke puncak jika dilakukan di sini, aku memutuskan untuk menginap di Arcopodo, daerah berketinggian sekitar 2.900 mdpl, tempat tertinggi yang masih layak untuk berkemah. Lagipula aku ingin tubuhku lebih dapat aklimatisasi terhadap ketinggian yang sudah lama tidak aku alami. Istirahat sekitar 15 menit untuk memulihkan stamina, kemudian meneruskan perjalanan yang setelah turunan curam menyebrang sungai kering berbatu  kembali menanjak. Perlu kerja keras menapaki tanjakan terjal dan berbahaya ini. Ketika harus melewati bibir-bibir jurang yang rawan longsor pikiran harus tetap fokus dan tidak emosi. Langkah yang salah bisa mengirim kedasar jurang apalagi jalur ini adalah lutut makan mulut.   Kabut tipis menyertaiku ketika sampai di Arcopodo . Pukul 11.45 wib, ketika aku menurunkan ransel setelah menemukan tempat yang aman dari bahaya longsor dan terlindung dari hembusan angin yang lumayan kencang.
Aku menghabiskan waktu dengan memasak makanan untuk makan siang dan tidak lupa melaksanakan sholat dhuhur sebagai rasa syukurku masih diberi sehat. Sementara diluar tenda deru angin yang menerpa puncak semeru dan pohon-pohon pinus terdengar bergemuruh seperti suara jet.  Menjelang senja menampilkan pemandangan indah tatkala sang surya mulai terbenam diufuk barat. Puncak pasir Mahameru juga sudah menampakkan diri, tapi angin masih berhembus cukup kencang.
Ketika hari sudah gelap, tiba-tiba angin berhenti berhembus  radio yang tadi lagu-lagu dangdut berbunyi menemaniku di kesendirian kumatikan, kesunyian malam terasa mencekam, anak kendal yang aku harapkan datang tidak kelihatan. Setelah memasak, makan malam  dan sholat kucoba untuk memejamkan mata, tetapi pikiranku selalu tertuju pada pendakian kepuncak yang akan kulakukan dini hari nanti.
Aku sempat terlelap hanya sekitar dua jam ketika terjaga mendapati kenyataan bahwa suara angin sudah kembali menderu di bagian puncak. Jarum jam seakan melambat dan malam terasa sangat panjang. Aku kembali harus berjuang keras memejamkan mata, agar pagi cepat datang.
Menggapai Puncak Mahameru 
 
Sekitar jam tiga pagi aku terbangun dan mulai menyiapkan segala sesuatu yang akan kubawa untuk melakukan summit attack. Timbul keraguan saat mendengar suara angin yang masih  menderu. Segera kupakai sepatuku yang dingin dan lembab,  kubuka tenda dan melangkah keluar. Tampak cuaca cerah, langit  dihiasi bulan sabit dan bintang-bintang. Berdo’a sejenak kulangkahkan kaki  beberapa saat kemudian dan segala keraguanku sedikit terhapus.
Di sebelah barat tampak gemerlap lampu-lampu kota malang dan sekitarnya. Aku berpikir betapa nyamannya orang-orang disana berkumpul dalam kehangatan keluarga. Setelah melewati lintasan-lintasan yang rawan longsor, Pos kelik 3.000 mdpl, aku mulai memasuki daerah berpasir dan pepohonan sudah sangat jarang. Jam 3.45 wib aku sudah sampai di Cemoro Tunggal yaitu vegetasi tertinggi di kawasan ini. Di luar dugaan ternyata lintasan pasir ini relatif lebih padat dan stabil, mungkin jarang pendakian.
Baru beberapa saat meninggalkan Cemoro Tunggal, tiba-tiba kabut tebal turun menyelimuti angin berhembus cukup kencang. Lampu kepala seakan tidak berarti untuk dapat menerangi langkahku. Kembali aku diliputi keraguan untuk meneruskan perjalanan.  Sementara ini aku sendiri sejauh 16 km dari orang terdekat, tidak bisa diharapkan kecuali pertolongan Tuhan semesta.  Aku putuskan berhenti di rekahan pasir untuk sembunyi sambil berdo’a.
Aku berpikir, apabila terlalu lama berhenti maka cepat kehilangan panas tubuh yang dapat mengakibatkan hypothermia, maka kulanjutkan bergerak keatas dengan napas terengah-engah karena menipisnya oksigen dan melawan tiupan angin. Dua jam berlalu tanpa kejelasan sampai dimana aku sekarang. Sampah-sampah plastik yang terlihat menandakan jalur yang benar, bertambah yakin kutemukan patok beton yang telah roboh.  Sinar matahari yang mulai terlihat membuatku tidak perlu lagi menyalakan lampu kepala.
   
Sampah plastik terlihat semakin banyak. Sebuah papan peringatan yang sudah roboh menandakan aku sudah dekat dengan puncak . Benar saja beberapa saat kemudian lintasan mulai melandai dan didepanku terlihat hamparan pasir yang luas. Aku terus berjalan menuju tonggak - tonggak yang menandakan titik tertinggi di Pulau Jawa. Aku duduk disitu dan beberapa saat tidak melakukan apapun. Ketika awan tebal berangsur-angsur menipis, pemandangan indah mulai tampak disegala penjuru. Aku bersujud keharibaan Tuhan yang masih memberi perlindungan sampai detik ini. Kemudian aku mengambil beberapa gambar termasuk gambarku sendiri dengan bantuan pengatur waktu  pada kamera dan tripod yang kubawa.
 
 
Sebuah letusan keras terdengar dari kawah Jonggring Saloko disusul kepulan asap beracun itu tertiup angin menjauh ke arah selatan. Aku tidak mau ambil resiko dengan berdiri terlalu lama di sisni dan segera menuruni puncak. Pada saat mau kembali terlihat rombongan anak Kendal satu persatu muncul sampai di puncak. Kemudian bersalaman untuk mengucapkan suksesnya dipuncak. Saat ditanya ternyata rombongannya nge - Camp di Kalimati. Berjalan turun sambil menikmati pemandangan sambil melihat bekas jejak kaki yang kutinggalkan ketika naik. Pukul 07.25 wib sampai ditendaku, berbaring sebentar melepas  lelah  sambil memikirkan hampir setengah perjalanan  sisa perjalanan, perjalanan pulang yang panjang dan menyakitkan dengan sisa-sisa energi yang telah terkuras untuk mencapai puncak.
Meninggalkan Zona Berbahaya
Pukul 08.30 wib aku meninggalkan Arcopodo, menuruni jalur yang berbahaya dengan perlahan dan hati-hati. Sesampai di pos Kalimati aku beristirahat sebentar sambil memandang ke arah Puncak Mahameru yang sebagian tertutup awan. Meskipun teramat jauh dari peradapan, setidaknya aku bisa bernapas dengan tenang karena zona paling berbahaya sudah aku tinggalkan. Jam sebelas lebih ketika sampai di Ranu Kumbolo, cuaca cerah dan indahnya pemandangan membuatku tergoda untuk mendirikan tenda. Saat itu banyak rombongan mendirikan  tenda yang baru datang sehingga menambah semangatku untuk menginap satu malam lagi.
Dipagi yang cerah berfoto-foto di Ranu Kumbolo sambil memasak nasi. Setelah membersihkan peralatan makan dan mengisi dua botol air untuk persediaan. Dalam hati bertanya-tanya kemana turis Prancis yang kemarin ijin bersama , tidak ketemu, di Ranu atau di puncak tidak ada. Langkah kembali terayun perlahan menaiki tanjakan curam dan kembali memasuki  kawasan hutan rimba. Pada saat itu pula bertemu rombongan dari Surabaya juga turun sebab happy camp di Ranu saja.   Banyak kenalan dan humoran saat turun sehingga tidak begitu terasa berat untuk turun. Dimana hari-hari kemarin ditemani dengan kesunyian sekarang ramai sekali. Jam 11.45 wib sampai juga di Ranu Pane, melaporkan kembali kedatangan dan tidak lupa membawa sampah pada pos Perijinan. Istirahat di warung, makan siang kemudian sholat. 

Tepat jam 03.00 wib ada Jeep yang mau membawaku turun ke Tumpang, Malang bersama anak Surabaya.Dari kenalan tersebut maka saya diberi kesempatan menginap di tempat teman-teman yang dari Surabaya.  Bertolak ke Jakarta naik kereta api jam 13.00 wib, akhirya semua kelelahan dirasakan didalam kereta untuk tidur.  Dan kembali ke peradaban.




Ditulis oleh: Muh.Tarom


EmoticonEmoticon